Pada zaman
dahulu, hiduplah pemuda yang biasa dipanggil Si Bujang Miskin.Walau dia lebih
senang dipanggil Si Bujang. Penduduk kampung menyebutnya demikian karena dia
seorang pemuda bujang (belum menikah) dan hidup dalam kemiskinan. Dia tinggal
bersama Ibunya di sebuah rumah kayu yang dibangun oleh ayahnya. Si Bujang
selalu ingat cerita ibunya tentang semangat ayahnya dalam membangun rumah itu.
Rumah itu dibangun ayahnya seorang diri saat mengetahui rahim istrinya telah
terisi.
"Mak, aku mau
pergi." ucap Si Bujang.
"Mau pergi
kemana ?" sahut Maknya.
"Mengail
ikan. Aku dengar banyak ikan-ikan di sungai dekat sana?"
"Untuk
apalah nak mencari ikan, beras pun kita tidak punya."
"Tapi.."
"Lebih baik
cari daging rusa di hutan sana. Biar mak yang cari kayu bakar."
"Iya Mak."
kata Si Bujang tidak membantah.
Nasib baik
berpihak kepada Si Bujang Miskin. Dia mendapat seekor rusa gemuk dan berhasil
menembusnya dengan tombak buatannya. Setibanya di rumah, terlihat Mak telah
mengumpulkan kayu bakar.
"Assalamualaikum."
ucap Si Bujang pada Maknya.
"Waalaikum salam."
Jawab Mak Si Bujang. "Alhamdulillah Nak, kau dapat rusa hari ini. Ambil
pisau lalu bersihkan bulu dan kulitnya!"
Tanpa menjawab
Si Bujang langsung mengerjakan perintah Maknya.
Malam itu mereka
makan rusa bakar. Walau bumbunya hanya garam dan bawang merah, namun daging
rusa itu terasa sangat nikmat di lidah mereka dan dapat mengenyangkan perut
mereka untuk beraktifitas esok harinya.
"Mak, aku hendak
merantau." ucap Si Bujang saat
selesai makan.
"Merantau?
Lalu kau kan tinggalkan Mak seorang diri?"
"Bujang tak
ada maksud untuk tinggalkan Mak. Tapi bukankah lebih baik jika Bujang mencari
kerja di kerajaan sana. Bujang bisa mengubah nasib kita"
"Tapi Nak, Jika
kau hendak pergi ke kota, Kau harus lewat laut. Kita tidak punya cukup uang
untuk membayar kapal."
"Bujang
bisa lewat hutan sana Mak, lagi pula kerajaan dan kampung kita ini satu
pulau." bujuk Si Bujang.
"Jika
memang demikian maumu Nak. Mak tidak melarang. Tapi kau harus hati-hati disana,
jangan lupa sembhayang, selalu jadi orang yang jujur dan amanah. Walau kita
miskin harta, Mak tak mau anak mak miskin iman." nasihat Maknya.
"Iya mak.
Insya Allah Bujang akan selalu ingat nasihat Mak."
Pagi hari. Si
Bujang sudah menyiapkan semuanya. Tiga helai pakaiannya di bungkusnya dengan
kain panjang dan diikatnya sehingga dapat dibawa pergi. Si Bujang juga membawa
tempat minum dari bambu yang bisa dia bawa selama perjalan.
"Nak,
simpanlah ini untuk jaga diri." Mak memberi sebilah keris yang masih
tersarung.
"Bukankah
ini keris peninggalan ayah?" Tanya Si Bujang.
"Iya nak. Kamu
simpan keris ini baik-baik. Keris ini untuk jaga diri bukan untuk menyakiti
orang lain. Kamu mengerti?"
"Mengerti
Mak." Ucap Si Bujang dan menerima keris itu.
"Nak, kamu
jangan lupa kembali. Emak pasti akan sangat rindu."
"Jika
Bujang berhasil di kota nanti, pasti Bujang kemari untuk menjemput Mak."
ucapnya lalu menggapai tangan ibunya.
" Bujang
pergi Mak, Assalamualaikum." salamnya lalu mencium sang Ibu."
"Waalaikumsalam."
Maknya hanya bisa berdo'a untuk keselamatan Anaknya.
Melewati
pepohonan, Si Bujang menghilang dari pandangan Maknya. Melewati hutan yang
lebat, Si Bujang terus mengikuti langkah kakinya. Mengikuti arah matahari
terbit, arah dimana diyakini sebuah kerajaan besar ada disana.
Sudah sehari
semalam Si Bujang berjalan. Tak ada yang bisa ia temukan selain pepohonan yang
berbaris. Sampai saat dia benar-benar kelelahan. Akhirnya dia memutuskan untuk
beristirahat di sebuah pohon. Pohon paling tinggi yang dia lihat saat itu.
Disandarkannya
punggungnya yang kelelahan. Si Bujang meraih tempat minum yang terbuat dari
bambu, berharap masih ada beberapa tetes air yang dapat menghilangkan
dahaganya. Tapi tidak ada yang tersisa. Merasa putus asa, Si Bujang melempar
bambu itu. Dahaga di kerongkongannya mengiring pikirannya menuju perasaan putus
asa, menyesal, dan sedih. Mungkin lebih baik jika dia tidak meninggalkan ibunya
seorang diri. Jika Si Bujang telah sampai di kerajaan, belum tentu dia mendapat
pekerjaan. Begitulah pikir Si Bujang Miskin.
Lamunan Si
Bujang terhenti oleh suara kokok ayam. Namun itu bukan suara ayam hutan, itu
suara ayam kampung. Itu artinya ada perkampungan di sekitar sini. Tak membuang
waktu, Si Bujang bangkit dan berusaha mencari sumber suara itu. Sayangnya
hutannya terlalu lebat. Apabila dia memutuskan untuk berjalan dan mencarinya
mungkin Si Bujang akan masuk lebih jauh ke dalam hutan. Tak hilang akal, Si
Bujang memanjat pohon tinggi tempat dia bersandar. Susah payah memanjat pohon
itu, Si Bujang akhrirnya melihat sesuatu. Bukan sebuah perkampungan. Namun
hanya sebuah rumah. Rumah sederhana tapi halamannya penuh dengan bunga-bunga
yang indah.
"Setidaknya
aku bisa meminta air di rumah itu." pikirnya.
Setibanya di
rumah itu, Si Bujang memberanikan diri mengetuk pintu.
"Assalamualaikum."
sahut Si Bujang
"Waalaikum
salam." terdengar suara di balik pintu.
Pintu terbuka.
Terlihat seorang nenek menyambut dengan senyuman hangat.
"Ada apa Nak?"
ucap nenek tersebut.
Si Bujang
memperkenalkan dirinya dan menceritakan maksudnya bertamu.
"Ooh,
silakan masuk Nak." sahut nenek itu.
Si Bujang
terdiam melihat rumah tersebut. Rumah itu tidak terlalu besar, namun rumah itu
sangat bersih dan rapi.
"Silakan
duduk Nak, biar nenek ambilkan air."
"Terima
kasih Nek." ucap Si Bujang.
Nenek menghampiri
Si Bujang dan memberikan segelas air.
"Nenek
disini tinggal dengan siapa?" tanya Si Bujang.
"Nenek
tinggal sendiri Nak. Suami nenek sudah meninggal setahun lalu."
"Apa tidak
apa-apa tinggal di hutan sendirian?"
"Tidak
apa-apa. Nenek bisa jaga diri. Lagi pula kerajaan juga tidak jauh dari sini.
"Kerajaan?"
tanya Si Bujang kaget.
"Iya. Apa Anak
hendak pergi ke kerajaan.?"
"Iya
Nek." senyum Si Bujang.
"Tapi saat
ini kerajaan sedang dalam musibah. Para prajurit sedang memperketat
penjagaan."
"Memang ada
musibah apa Nek?"
"Sang Puteri
diculik oleh Ular Besar penunggu gua gelap."
"Puteri?
Ular Besar?" Si Bujang kaget.
"Ia Nak,
sebaiknya pulanglah dulu. Kembalilah nanti saat situasi mulai membaik”
"Tapi Nek,
Bujang sudah berjanji akan kembali jika sudah dapat pekerjaan. Bujang tak bisa
berhenti sekarang."
"Baiklah Nak.
Kamu bisa pergi ke kerajaan, namun kamu harus ikut serta dalam sayembara."
"Sayembara?"
"Kamu harus
menyelamatkan Sang Puteri sebelum matahari terbenam. Jika berhasil kamu dapat
melamar sang Puteri. Namun jika kamu gagal, sang Raja akan menyiapkan hukuman
pancung untukmu."
"Tidak apa Nek.
Kata ayahku, seorang lelaki harus berani dan selalu menepati janjinya. Aku akan
mencoba menyelamatkan Sang Puteri."
"Baiklah Nak.
Jika kamu masih ingin melakukannya. Nenek hanya bisa berdo'a. Semoga kamu
dilindungi Allah."
Akhirnya Si
Bujang pergi menuju gua gelap untuk mencari Sang Puteri dan ular besar yang
menangkapnya. Dia harus cepat karena jika matahari telah terbenam sang ular
akan menjadikan sang Puteri sebagai makan malamnya.
Melewati hutan, Si
Bujang terus mencari dan mencari. Pencarian tersebut mempertemukan Si Bujang
dengan sebuah gua besar dan sangat gelap. Mungkin inilah gua yang dimaksud
Nenek.
Dia mengambil
nafas sejenak sembari mengumpulkan keberanian. Dengan langkah pasti, Si Bujang
memasuki gua itu dan mencoba menemukan Sang Puteri. Lalu terdengar sebuah
suara. Suara mendesis.
"Apa itu
Ularnya?" pikir Si Bujang.
Dia mengikuti
asal suara itu lalu melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Ular yang
besarnya seperti anak sungai. Ular itu terlihat sedang terlelap. Sang Puteri
juga ada di sana terlihat pingsan.
Di sisi lain,
seorang lelaki paruh baya bersembunyi dibalik bebatuan gua. Sebilah Kujang
sudah tergenggam di tangannya yang gemetar. Wajah lelaki itu dipenuhi rasa
takut. Rasa takutnya teralihkan karena melihat Si Bujang yang sedia untuk
mencabut kerisnya.
"Pemuda ini
pasti akan mati." pikir lelaki itu.
Membaca
bismillah. Si Bujang mencabut kerisnya. Perlahan, dia mencoba menggapai leher
makhluk itu. Sayangnya ular itu tidur melingkar dan Si Bujang harus mendaki
perut ular besar itu agar dapat menebas lehernya. Ular itu bergerak dan Si
Bujang terjatuh dari perut ular itu. Ular tersebut terbangun dan berusaha
menerkam Si Bujang. Secara spontan Si Bujang menghindar sehingga Ular tersebut
menggigit lehernya sendiri. Si Bujang langsung menebas leher ular tersebut.
Ular tersebut akhirnya mati dan Si Bujang menggapai Sang Puteri. Puteri itu
sepertinya masih tidak sadarkan diri. Si Bujang memutuskan menggendong Sang Puteri
dan keluar dari gua itu. Tanpa Si Bujang ketahui, seorang lelaki mengikutinya
dari belakang.
Si Bujang
beristirahat di tepi sungai. Dia berniat untuk membersihkan kerisnya dari darah
ular. Dia berharap Puteri segera sadar dan dapat melanjutkan kembali
perjalanan. Si Bujang mencabut keris yang masih berlumuran darah dan meletakkan
sarung keris itu di dekat Sang Puteri. Si Bujang mencuci kerisnya hingga darah
tersebut luntur. Tiba-tiba muncul ledakan dari dasar sungai. Muncul seekor
Ketam raksasa telempar dan mencoba menyerang Si Bujang.
"Beraninya Kau
mencemari sungaiku dengan darah kotor itu." bentak Ketam Raksasa.
Si Bujang
menghindar dan memacing Ketam Raksasa ke hilir sungai dengan harapan Ketam itu
tidak melukai Puteri. Sang Puteri akhirnya terbangun mendengar suara ledakan
air. Samar-samar ia melihat pemuda dengan sebilah keris yang bertarung dengan
Ketam Raksasa. Namun seseorang menariknya dan membawanya menjauh dari sungai.
"Siapa Kau?"
tanya sang Puteri.
"Saya Raja
Hijau, saya akan mengantarmu kembali ke kerajaan."
"Apa yang
terjadi?"
"Nanti Saya
jelaskan. Kita harus segera kembali ke kerajaan."
Sang Puteri dan Raja
Hijau kembali ke Kerajaan. Sang Puteri segera berlari ke pelukan ayahnya.
"Kamu tidak
apa-apa Anakku?"
"Tidak apa Yah.
Alhamdulillah aku selamat."
"Ehem."
potong Raja Hijau menganggu pertemuan mereka.
"Raja
Hijau, aku tahu jika Kau pasti berhasil mengalahkan ular itu. Kita akhirnya
bisa mempersiapkan pernikahan untuk kalian berdua."
Sang Puteri
mendengar percakapan ayahnya dengan Raja Hijau. Dia tahu dia pasti akan
dinikahkan dengan orang yang menyelamatkannya. Tapi entah kenapa ia merasa
bahwa bukan Raja Hijau yang menyelamatkannya. Dia baru sadar bahwa dia memegang
sebuah sarung keris.
" Permisi
Tuan Raja Hijau." tanya Sang Puteri.
" Ada Apa Puteri?"
"Apa sarung
keris ini milikmu?" Putri menunjukan sarung keris itu.
"Tidak Puteri.
Senjataku sebuah kujang, bukan keris."
"Ayah, aku
yakin orang yang menyelamatkanku pasti yang memiliki keris dari sarung
ini."
"Lalu
kenapa Raja Hijau yang mengantarmu kemari?" tanya Sang Raja.
"Entahlah
Ayah. Ini hanya perasaanku saja. Tapi aku mohon untuk mencari tahu siapa
pemilik sarung keris ini."
"Baiklah
jika itu kehendakmu nak." ucap Sang Raja."Pengawal segera kumpulkan
semua penduduk yang memiliki keris di Alun-alur. Aku dan Puteri akan menemui
mereka disana."
Si Bujang
berhasil selamat dari amukan Ketam Raksasa walau harus bayah kuyup karena
ditenggelamkan oleh Ketam itu. Si Bujang berjalan menuju ke istana dengan tidak
membawa apa-apa selain kerisnya yang tidak bersarung. Sang Puteri menghilang
entah kemana. Jika dia kembali ke Istana mungkin dia akan dihukum pancung. Tapi
jika dia tidak pergi ke istana, tidak akan ada orang yang tahu bahwa Sang Puteri
menghilang dan tidak dimakan Ular besar.
"Mungkin
sebaiknya aku pulang. Jika aku mati siapa yang akan menjaga mak di rumah."
pikir Bujang.
Lalu Si Bujang
teringat Maknya. "Kamu harus jadi orang yang jujur dan amanah Nak."
Si Bujang
mengurungkan niaknya untuk kembali. Dia yang bertanggung jawab dengan nasib
sang Puteri. Setelah melaporkan ini kepada kerajaan, dia bersiap menerima
hukuman apapun.
Si Bujang sampai
ke kerajaan. Dia melihat alun-alun penuh dengan penduduk. Dia menembus
kerumunan orang itu dan mencoba melihat apa yang terjadi. Terlihat sang Raja
dijaga beberapa pengawalnya. Ternyata Puteri juga ada disana. Dia bersyukur Puteri
telah kembali dengan selamat.
"Ini bukan
kerisnya." ucap sang Raja."Apa masih ada yang memiliki keris?”
"Sepertinya
tidak ada. Ini berarti kita jodoh Puteri." senyum Raja Hijau kepada Puteri
Puteri hanya
mengalihkan pandangannya dari mata sombong sang Raja Hijau. Dia kaget melihat
masih ada pemuda yang memegang keris, bahkan keris itu tidak disarungkan.
"Ayahanda,
sepertinya masih ada yang memiliki keris." ucap Puteri dengan penuh
harapan.
"Kau.
Majulah." ucap Raja sambil jari telunjuknya terarah ke wajah Si Bujang.
Si Bujang maju
dengan ragu. Apa sang Raja masih ingin menghukumnya.
"Apa keris
itu milikmu?" tanya sang Raja.
"I..Iya
paduka Raja." jawab Si Bujang dengan gugup.
"Sarungkan
kerismu ke dalam ini."
Si Bujang
terkejut, sarung kerisnya ada di tangan Raja. Si Bujang tidak ingin
menanyakannya dan langsung menyarungkan kerisnya. Keris itu masuk dengan
sempurna. Semua orang yang menyaksikannya hanya bisa terdiam.
"Siapa
namamu anak muda?” tanya sang Raja.
"Orang-orang
memanggilku Si Bujang Paduka Raja."
"Si Bujang.
Apa Kau yang menyelamatkan sang Puteri.
"Iya Paduka."
"Kau yang
mengalahkan Ular Besar itu?"
"Iya Paduka."
"Lalu
jelaskan kenapa Puteriku kembali dengan Raja Hijau!"
Si Bujang
menceritakan semuanya hingga dia kehilangan Puteri. Sang Raja dan seluruh
penduduk mendengar cerita tersebut.
"Puteriku, Apa
Engkau yakin, pemuda ini yang menyelamatkanmu?."
Mata sang Puteri
melihat wajah Si Bujang. Si Bujang hanya bisa menunduk. Dia melihat tubuh yang
basah kuyup. Beberapa luka yang masih belum mengering di lengannya dan cara dia
mengenggam keris itu. Dia sangat mengingat tangan yang menggam keris itu. Tangan
yang berani.
"Aku yakin Ayah."
ucapnya dengan senyuman.
"Baiklah Si
Bujang apa mau aku nikahkan dengan Puteriku." tanya Sang Raja
"Iya Paduka
Raja." jawab Si Bujang sembari menangkat kepalanya.
Si Bujang
menikah dengan Tuan Puteri. Pesta pernikahan dilangsungkan esok hari setelah
hari penyelamatan Sang Puteri. Pernikahan berlangsung meriah. Si Bujang
menikmati sal-hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kemewahan,
kehormatan, dan cinta dari sang Puteri. Namun itu semua masih terasa hambar
baginya.
"Ada apa
Kakanda? Kenapa Kakanda terlihat tidak bahagia?"
"Tidak ada
apa-apa." jawab Si Bujang sambil tersenyum."Hanya saja Kakanda
teringat Ibu kakanda yang saat ini masih di kampung."
"Jika itu
membuat Kakanda sedih. Kita bisa menjenguk beliau. Kita mungkin bisa mengajak
beliau untuk tinggal disini."
"Bolehkah?"
"Tentu
saja. Ayah bisa menyiapkan kapal untuk kita."
Keesokan
harinya. Kapal telah menunggu Si Bujang dan istrinya. Kapal itu milik kerajaan
dan semua awaknya adalah prajurit kerajaan. Sang Raja turut hadir melihat Puteri
tunggalnya pergi dalam pelayaran pertamanya.
"Kalian
harus hati-hati. Kalian akan melalui pulau berhantu. Orang-orang biasa
menyebutnya hantu Kalakiwi. Sebaiknya jangan menepi disana. Hantu itu dikenal
kejam." pesan Sang Raja.
"Baik Paduka
Raja." ucap Si Bujang.
"Semoga Kalian
selamat sampai tujuan." do'a Sang Raja.
Kapal mulai
pergi menjauhi dermaga. Layar dikembangkan dan udara sedang mengarah ke barat.
Perjalanan itu cukup nyaman. Namun dengan tak terduga datang perompak
dengan sampan mencoba mengambil alih kapal. Si Bujang dan pasukannya dengan
sigap melawan para perompak. Para perompak berhasil ditangkap. Kapal dapat
diselamatkan walau tempat persediaan air hancur karena ulah perompak.
"Kakanda,
bukankah sebaiknya kita menepi untuk mencari air." mohon Istrinya dengan
suara kering
"Baiklah Adinda.
Kita akan menepi di Pulau terdekat."
Tidak lama
kemudian sebuah pulau terlihat di cakrawala. Si Bujang segera memerintahkan
awak kapalnya untuk merapat ke pulau tersebut.
Si Bujang dan berberapa
pasukan mencari sumber air di Pulau itu. Istrinya menunggu di kapal bersama
sisa awak kapal. Sang Puteri sambil termenung melihat air laut. Tiba-tiba
sesosok makhluk aneh keluar dari lautan dan menarik Sang Puteri jatuh ke laut.
Makhluk itu melompat keatas dan berubah bentuk menjadi sang Puteri. Awak kapal
yang mendengar suara hempasan air terkejut dan segera mencari tahu apa yang
terjadi.
"Tuan Puteri
tidak apa-apa?" tanya seorang awak.
"Tidak apa.
Tadi hanya suara ikan yang melompat." jawab sosok yang telah berwujud sang
Puteri.
Si Bujang dan
pasukannya akhirnya kembali dengan membawa pasokan air. Perjalanan kembali
dilanjutkan tanpa ada satu orang pun yang tahu apa yang terjadi dengan Puteri
yang asli. Puteri palsu awalnya ingin membunuh dan memakan semua orang dalam
perjalanan. Namun mendengar bahwa mereka akan pergi ke sebuah perkampungan
makhluk itu mengurungkan niatnya.
Kapal akhrinya
berlabuh di kampung. Semua orang disana tidak percaya siapa yang turun dari
kapal milik kerajaan itu. Si Bujang Miskin turun bersama dengan 'istri'nya dan
segera menuju rumah Maknya.
"Bujang.
Alhamdulillah nak kamu sudah pulang." ucap Maknya dengan bahagia melihat
anaknya kembali dengan selamat.
"Alhamdulillah
Mak. Ini karena do'a dan nasihat mak Bujang bisa berhasil ke kerajaan."
ucap Si Bujang sambil mencium tangan maknya.
"Mak, ini
istri Bujang. Dia Puteri kerajaan." ucap Si Bujang sambil melihat
Istrinya.
"Kamu juga
sudah menikah? Kenapa tidak minta restu mak dulu?"
"Maaf mak
ini perintah Raja."
"Tidak apa
mak merestui hubungan kalian."
Si Bujang sangat
senang mendengar restu mak. Dia memerintahkan para pengawalnya untuk membeli
berberapa ekor ayam dan bahan makanan untuk dimasak sebagai pengganti pesta
perkawinan di istana kemarin.
Mak mengajak
'istri' Bujang untuk memasak daging ayam. Namun makhluk itu tergoda melihat
daging ayam yang baru disembelih. Saat Mak tidak melihat, makhluk itu langsung
memakan ayam itu mentah-mentah. Tanpa disangka Mak melihat itu dan segera
memberitahu Si Bujang.
Si Bujang kaget
mendengar perkataan Maknya. Dia segera berlari ke dapur dan melihat
tulang-tulang ayam yang tersisa. Mulut makhluk itu berlumuran darah dan wajah
aslinya terlihat. Si Bujang tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Makhluk itu
mencoba menerkam Si Bujang. Si Bujang dengan sigap menghidar dan segera
mencabut kerisnya. Makhluk itu ketakutan melihat keris itu dan segera melarikan
diri.
Makhluk itu
mencoba melarikan diri, namun dihadang oleh orang-orang kampung yang membawa
obor. Makhluk itu tampak sangat takut dengan api. Melihat itu penduduk mencoba
membakarnya.
"Bakar,
bakar, bakar!" teriak warga kampung.
"Tunggu."
teriak Si Bujang. "Siapa kau sebenarnya?" tanya pada makhluk itu.
"Mereka
biasa menyebutku dengan hantu Kalakiwi."
"Dimana
Istriku?"
"Istrimu?
Mungkin mayatnya sudah terombam ambing di lautan sana." ucapnya sambil
tertawa.
"Apa kau
membunuhnya?"
"Tidak, kau
yang membunuhnya. Kau yang merapatkan kapalmu ke pulau kami. Kau yang
membawanya kepada kematian."
Si Bujang dengan
amarah langsung menebas hantu Kalakiwi hingga tubuhnya menguap. Warga bersorak
gembira dengan matinya hantu Kalikawa. Namun Si Bujang tidak gembira. Dia
berlari menuju lautan dan berteriak sekeras mungkin pada lautan. Air matanya
tidak terbendung lagi mengingat istrinya yang telah tiada. Dia merasa sangat
bersalah dan putus asa. seseorang tiba-tiba mengelus pudaknya.
"Tidak apa Nak,
ini sudah takdir. Kita tidak bisa berbuat banyak sekarang."
"Tapi Mak
ini salahku. Raja telah mengingatkanku soal hantu Kalikawa itu tapi aku tetap
pergi ke pulau terkutuk itu."
"Kita hanya
bisa berdo'a Nak. Itu yang bisa kita lakukan sekarang."
Si Bujang
mengikuti nasihat maknya. Dia berdo'a menghadap lautan agar arwah istrinya
dapat diterima di surga dan jasad...
"Kakanda."
terdengar suara lembut sangat dikenal Si Bujang.
"Puteri?"
ucap Si Bujang seraya menoleh.
Dia kaget bukan
kepalang melihat istrinya tepat dibelakangnya. Segera dipeluknya istri
tercintanya dan Si Bujang bertanya "Apa yang terjadi Dinda?"
"Aku
ditarik sesuatu sehingga jatuh ke lautan. Namun ada nelayan yang
menyelamatkanku dan mengantarkan sampai kesini."
"Alhamdulillah
Dinda kau selamat." ucap Si Bujang tak henti-hentinya bersyukur.
Hari itu Si
Bujang menyadari semua yang dimilikinya hanyalah titipan. Kehormatan, harta,
bahkan orang yang dicintainya pasti akan kembali kepada Yang Kuasa. Hal yang
paling penting adalah bagaimana hidup itu harus berguna dan tidak mengecewakan
amanat dari orang lain.
Tamat
Note: Cerita ini ditulis ulang oleh penulis dengan penambahan. Cerita aslinya dapat dilihat disini.
Comments
Post a Comment