Skip to main content

Si Bujang Miskin



Pada zaman dahulu, hiduplah pemuda yang biasa dipanggil Si Bujang Miskin.Walau dia lebih senang dipanggil Si Bujang. Penduduk kampung menyebutnya demikian karena dia seorang pemuda bujang (belum menikah) dan hidup dalam kemiskinan. Dia tinggal bersama Ibunya di sebuah rumah kayu yang dibangun oleh ayahnya. Si Bujang selalu ingat cerita ibunya tentang semangat ayahnya dalam membangun rumah itu. Rumah itu dibangun ayahnya seorang diri saat mengetahui rahim istrinya telah terisi.
"Mak, aku mau pergi." ucap Si Bujang.
"Mau pergi kemana ?" sahut Maknya.
"Mengail ikan. Aku dengar banyak ikan-ikan di sungai dekat sana?"
"Untuk apalah nak mencari ikan, beras pun kita tidak punya."
"Tapi.."
"Lebih baik cari daging rusa di hutan sana. Biar mak yang cari kayu bakar."
"Iya Mak." kata Si Bujang tidak membantah.
Nasib baik berpihak kepada Si Bujang Miskin. Dia mendapat seekor rusa gemuk dan berhasil menembusnya dengan tombak buatannya. Setibanya di rumah, terlihat Mak telah mengumpulkan kayu bakar.
"Assalamualaikum." ucap Si Bujang pada Maknya.
"Waalaikum salam." Jawab Mak Si Bujang. "Alhamdulillah Nak, kau dapat rusa hari ini. Ambil pisau lalu bersihkan bulu dan kulitnya!"
Tanpa menjawab Si Bujang langsung mengerjakan perintah Maknya.
Malam itu mereka makan rusa bakar. Walau bumbunya hanya garam dan bawang merah, namun daging rusa itu terasa sangat nikmat di lidah mereka dan dapat mengenyangkan perut mereka untuk beraktifitas esok harinya.
"Mak, aku hendak  merantau." ucap Si Bujang saat selesai makan.
"Merantau? Lalu kau kan tinggalkan Mak seorang diri?"

"Bujang tak ada maksud untuk tinggalkan Mak. Tapi bukankah lebih baik jika Bujang mencari kerja di kerajaan sana. Bujang bisa mengubah nasib kita"
"Tapi Nak, Jika kau hendak pergi ke kota, Kau harus lewat laut. Kita tidak punya cukup uang untuk membayar kapal."
"Bujang bisa lewat hutan sana Mak, lagi pula kerajaan dan kampung kita ini satu pulau." bujuk Si Bujang.
"Jika memang demikian maumu Nak. Mak tidak melarang. Tapi kau harus hati-hati disana, jangan lupa sembhayang, selalu jadi orang yang jujur dan amanah. Walau kita miskin harta, Mak tak mau anak mak miskin iman." nasihat Maknya.
"Iya mak. Insya Allah Bujang akan selalu ingat nasihat Mak."
Pagi hari. Si Bujang sudah menyiapkan semuanya. Tiga helai pakaiannya di bungkusnya dengan kain panjang dan diikatnya sehingga dapat dibawa pergi. Si Bujang juga membawa tempat minum dari bambu yang bisa dia bawa selama perjalan.
"Nak, simpanlah ini untuk jaga diri." Mak memberi sebilah keris yang masih tersarung.
"Bukankah ini keris peninggalan ayah?" Tanya Si Bujang.
"Iya nak. Kamu simpan keris ini baik-baik. Keris ini untuk jaga diri bukan untuk menyakiti orang lain. Kamu mengerti?"
"Mengerti Mak." Ucap Si Bujang dan menerima keris itu.
"Nak, kamu jangan lupa kembali. Emak pasti akan sangat rindu."
"Jika Bujang berhasil di kota nanti, pasti Bujang kemari untuk menjemput Mak." ucapnya lalu menggapai tangan ibunya.
" Bujang pergi Mak, Assalamualaikum." salamnya lalu mencium sang Ibu."
"Waalaikumsalam." Maknya hanya bisa berdo'a untuk keselamatan Anaknya.
Melewati pepohonan, Si Bujang menghilang dari pandangan Maknya. Melewati hutan yang lebat, Si Bujang terus mengikuti langkah kakinya. Mengikuti arah matahari terbit, arah dimana diyakini sebuah kerajaan besar ada disana.
Sudah sehari semalam Si Bujang berjalan. Tak ada yang bisa ia temukan selain pepohonan yang berbaris. Sampai saat dia benar-benar kelelahan. Akhirnya dia memutuskan untuk beristirahat di sebuah pohon. Pohon paling tinggi yang dia lihat saat itu.
Disandarkannya punggungnya yang kelelahan. Si Bujang meraih tempat minum yang terbuat dari bambu, berharap masih ada beberapa tetes air yang dapat menghilangkan dahaganya. Tapi tidak ada yang tersisa. Merasa putus asa, Si Bujang melempar bambu itu. Dahaga di kerongkongannya mengiring pikirannya menuju perasaan putus asa, menyesal, dan sedih. Mungkin lebih baik jika dia tidak meninggalkan ibunya seorang diri. Jika Si Bujang telah sampai di kerajaan, belum tentu dia mendapat pekerjaan. Begitulah pikir Si Bujang Miskin.
Lamunan Si Bujang terhenti oleh suara kokok ayam. Namun itu bukan suara ayam hutan, itu suara ayam kampung. Itu artinya ada perkampungan di sekitar sini. Tak membuang waktu, Si Bujang bangkit dan berusaha mencari sumber suara itu. Sayangnya hutannya terlalu lebat. Apabila dia memutuskan untuk berjalan dan mencarinya mungkin Si Bujang akan masuk lebih jauh ke dalam hutan. Tak hilang akal, Si Bujang memanjat pohon tinggi tempat dia bersandar. Susah payah memanjat pohon itu, Si Bujang akhrirnya melihat sesuatu. Bukan sebuah perkampungan. Namun hanya sebuah rumah. Rumah sederhana tapi halamannya penuh dengan bunga-bunga yang indah.
"Setidaknya aku bisa meminta air di rumah itu." pikirnya.
Setibanya di rumah itu, Si Bujang memberanikan diri mengetuk pintu.
"Assalamualaikum." sahut Si Bujang
"Waalaikum salam." terdengar suara di balik pintu.
Pintu terbuka. Terlihat seorang nenek menyambut dengan senyuman hangat.
"Ada apa Nak?" ucap nenek tersebut.
Si Bujang memperkenalkan dirinya dan menceritakan maksudnya bertamu.
"Ooh, silakan masuk Nak." sahut nenek itu.
Si Bujang terdiam melihat rumah tersebut. Rumah itu tidak terlalu besar, namun rumah itu sangat bersih dan rapi.
"Silakan duduk Nak, biar nenek ambilkan air."
"Terima kasih Nek." ucap Si Bujang.
Nenek menghampiri Si Bujang dan memberikan segelas air.
"Nenek disini tinggal dengan siapa?" tanya Si Bujang.
"Nenek tinggal sendiri Nak. Suami nenek sudah meninggal setahun lalu."
"Apa tidak apa-apa tinggal di hutan sendirian?"
"Tidak apa-apa. Nenek bisa jaga diri. Lagi pula kerajaan juga tidak jauh dari sini.
"Kerajaan?" tanya Si Bujang kaget.
"Iya. Apa Anak hendak pergi ke kerajaan.?"
"Iya Nek." senyum Si Bujang.
"Tapi saat ini kerajaan sedang dalam musibah. Para prajurit sedang memperketat penjagaan."
"Memang ada musibah apa Nek?"
"Sang Puteri diculik oleh Ular Besar penunggu gua gelap."
"Puteri? Ular Besar?" Si Bujang kaget.
"Ia Nak, sebaiknya pulanglah dulu. Kembalilah nanti saat situasi mulai membaik”
"Tapi Nek, Bujang sudah berjanji akan kembali jika sudah dapat pekerjaan. Bujang tak bisa berhenti sekarang."
"Baiklah Nak. Kamu bisa pergi ke kerajaan, namun kamu harus ikut serta dalam sayembara."
"Sayembara?"
"Kamu harus menyelamatkan Sang Puteri sebelum matahari terbenam. Jika berhasil kamu dapat melamar sang Puteri. Namun jika kamu gagal, sang Raja akan menyiapkan hukuman pancung untukmu."

"Tidak apa Nek. Kata ayahku, seorang lelaki harus berani dan selalu menepati janjinya. Aku akan mencoba menyelamatkan Sang Puteri."
"Baiklah Nak. Jika kamu masih ingin melakukannya. Nenek hanya bisa berdo'a. Semoga kamu dilindungi Allah."
Akhirnya Si Bujang pergi menuju gua gelap untuk mencari Sang Puteri dan ular besar yang menangkapnya. Dia harus cepat karena jika matahari telah terbenam sang ular akan menjadikan sang Puteri sebagai makan malamnya.
Melewati hutan, Si Bujang terus mencari dan mencari. Pencarian tersebut mempertemukan Si Bujang dengan sebuah gua besar dan sangat gelap. Mungkin inilah gua yang dimaksud Nenek.
Dia mengambil nafas sejenak sembari mengumpulkan keberanian. Dengan langkah pasti, Si Bujang memasuki gua itu dan mencoba menemukan Sang Puteri. Lalu terdengar sebuah suara. Suara mendesis.
"Apa itu Ularnya?" pikir Si Bujang.
Dia mengikuti asal suara itu lalu melihat sesuatu yang belum pernah dilihatnya. Ular yang besarnya seperti anak sungai. Ular itu terlihat sedang terlelap. Sang Puteri juga ada di sana terlihat pingsan.
Di sisi lain, seorang lelaki paruh baya bersembunyi dibalik bebatuan gua. Sebilah Kujang sudah tergenggam di tangannya yang gemetar. Wajah lelaki itu dipenuhi rasa takut. Rasa takutnya teralihkan karena melihat Si Bujang yang sedia untuk mencabut kerisnya.
"Pemuda ini pasti akan mati." pikir lelaki itu.
Membaca bismillah. Si Bujang mencabut kerisnya. Perlahan, dia mencoba menggapai leher makhluk itu. Sayangnya ular itu tidur melingkar dan Si Bujang harus mendaki perut ular besar itu agar dapat menebas lehernya. Ular itu bergerak dan Si Bujang terjatuh dari perut ular itu. Ular tersebut terbangun dan berusaha menerkam Si Bujang. Secara spontan Si Bujang menghindar sehingga Ular tersebut menggigit lehernya sendiri. Si Bujang langsung menebas leher ular tersebut. Ular tersebut akhirnya mati dan Si Bujang menggapai Sang Puteri. Puteri itu sepertinya masih tidak sadarkan diri. Si Bujang memutuskan menggendong Sang Puteri dan keluar dari gua itu. Tanpa Si Bujang ketahui, seorang lelaki mengikutinya dari belakang.
Si Bujang beristirahat di tepi sungai. Dia berniat untuk membersihkan kerisnya dari darah ular. Dia berharap Puteri segera sadar dan dapat melanjutkan kembali perjalanan. Si Bujang mencabut keris yang masih berlumuran darah dan meletakkan sarung keris itu di dekat Sang Puteri. Si Bujang mencuci kerisnya hingga darah tersebut luntur. Tiba-tiba muncul ledakan dari dasar sungai. Muncul seekor Ketam raksasa telempar dan mencoba menyerang Si Bujang.
"Beraninya Kau mencemari sungaiku dengan darah kotor itu." bentak Ketam Raksasa.
Si Bujang menghindar dan memacing Ketam Raksasa ke hilir sungai dengan harapan Ketam itu tidak melukai Puteri. Sang Puteri akhirnya terbangun mendengar suara ledakan air. Samar-samar ia melihat pemuda dengan sebilah keris yang bertarung dengan Ketam Raksasa. Namun seseorang menariknya dan membawanya menjauh dari sungai.
"Siapa Kau?" tanya sang Puteri.
"Saya Raja Hijau, saya akan mengantarmu kembali ke kerajaan."
"Apa yang terjadi?"
"Nanti Saya jelaskan. Kita harus segera kembali ke kerajaan."
Sang Puteri dan Raja Hijau kembali ke Kerajaan. Sang Puteri segera berlari ke pelukan ayahnya.
"Kamu tidak apa-apa Anakku?"
"Tidak apa Yah. Alhamdulillah aku selamat."
"Ehem." potong Raja Hijau menganggu pertemuan mereka.
"Raja Hijau, aku tahu jika Kau pasti berhasil mengalahkan ular itu. Kita akhirnya bisa mempersiapkan pernikahan untuk kalian berdua."
Sang Puteri mendengar percakapan ayahnya dengan Raja Hijau. Dia tahu dia pasti akan dinikahkan dengan orang yang menyelamatkannya. Tapi entah kenapa ia merasa bahwa bukan Raja Hijau yang menyelamatkannya. Dia baru sadar bahwa dia memegang sebuah sarung keris.
" Permisi Tuan Raja Hijau." tanya Sang Puteri.
" Ada Apa Puteri?"
"Apa sarung keris ini milikmu?" Putri menunjukan sarung keris itu.
"Tidak Puteri. Senjataku sebuah kujang, bukan keris."
"Ayah, aku yakin orang yang menyelamatkanku pasti yang memiliki keris dari sarung ini."
"Lalu kenapa Raja Hijau yang mengantarmu kemari?" tanya Sang Raja.
"Entahlah Ayah. Ini hanya perasaanku saja. Tapi aku mohon untuk mencari tahu siapa pemilik sarung keris ini."
"Baiklah jika itu kehendakmu nak." ucap Sang Raja."Pengawal segera kumpulkan semua penduduk yang memiliki keris di Alun-alur. Aku dan Puteri akan menemui mereka disana."
Si Bujang berhasil selamat dari amukan Ketam Raksasa walau harus bayah kuyup karena ditenggelamkan oleh Ketam itu. Si Bujang berjalan menuju ke istana dengan tidak membawa apa-apa selain kerisnya yang tidak bersarung. Sang Puteri menghilang entah kemana. Jika dia kembali ke Istana mungkin dia akan dihukum pancung. Tapi jika dia tidak pergi ke istana, tidak akan ada orang yang tahu bahwa Sang Puteri menghilang dan tidak dimakan Ular besar.
"Mungkin sebaiknya aku pulang. Jika aku mati siapa yang akan menjaga mak di rumah." pikir Bujang.
Lalu Si Bujang teringat Maknya. "Kamu harus jadi orang yang jujur dan amanah Nak."
Si Bujang mengurungkan niaknya untuk kembali. Dia yang bertanggung jawab dengan nasib sang Puteri. Setelah melaporkan ini kepada kerajaan, dia bersiap menerima hukuman apapun.
Si Bujang sampai ke kerajaan. Dia melihat alun-alun penuh dengan penduduk. Dia menembus kerumunan orang itu dan mencoba melihat apa yang terjadi. Terlihat sang Raja dijaga beberapa pengawalnya. Ternyata Puteri juga ada disana. Dia bersyukur Puteri telah kembali dengan selamat.
"Ini bukan kerisnya." ucap sang Raja."Apa masih ada yang memiliki keris?”
"Sepertinya tidak ada. Ini berarti kita jodoh Puteri." senyum Raja Hijau kepada Puteri
Puteri hanya mengalihkan pandangannya dari mata sombong sang Raja Hijau. Dia kaget melihat masih ada pemuda yang memegang keris, bahkan keris itu tidak disarungkan.
"Ayahanda, sepertinya masih ada yang memiliki keris." ucap Puteri dengan penuh harapan.
"Kau. Majulah." ucap Raja sambil jari telunjuknya terarah ke wajah Si Bujang.
Si Bujang maju dengan ragu. Apa sang Raja masih ingin menghukumnya.
"Apa keris itu milikmu?" tanya sang Raja.
"I..Iya paduka Raja." jawab Si Bujang dengan gugup.
"Sarungkan kerismu ke dalam ini."
Si Bujang terkejut, sarung kerisnya ada di tangan Raja. Si Bujang tidak ingin menanyakannya dan langsung menyarungkan kerisnya. Keris itu masuk dengan sempurna. Semua orang yang menyaksikannya hanya bisa terdiam.
"Siapa namamu anak muda?” tanya sang Raja.
"Orang-orang memanggilku Si Bujang Paduka Raja."
"Si Bujang. Apa Kau yang menyelamatkan sang Puteri.
"Iya Paduka."
"Kau yang mengalahkan Ular Besar itu?"
"Iya Paduka."
"Lalu jelaskan kenapa Puteriku kembali dengan Raja Hijau!"
Si Bujang menceritakan semuanya hingga dia kehilangan Puteri. Sang Raja dan seluruh penduduk mendengar cerita tersebut.
"Puteriku, Apa Engkau yakin, pemuda ini yang menyelamatkanmu?."
Mata sang Puteri melihat wajah Si Bujang. Si Bujang hanya bisa menunduk. Dia melihat tubuh yang basah kuyup. Beberapa luka yang masih belum mengering di lengannya dan cara dia mengenggam keris itu. Dia sangat mengingat tangan yang menggam keris itu. Tangan yang berani.
"Aku yakin Ayah." ucapnya dengan senyuman.
"Baiklah Si Bujang apa mau aku nikahkan dengan Puteriku." tanya Sang Raja
"Iya Paduka Raja." jawab Si Bujang sembari menangkat kepalanya.
Si Bujang menikah dengan Tuan Puteri. Pesta pernikahan dilangsungkan esok hari setelah hari penyelamatan Sang Puteri. Pernikahan berlangsung meriah. Si Bujang menikmati sal-hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Kemewahan, kehormatan, dan cinta dari sang Puteri. Namun itu semua masih terasa hambar baginya.
"Ada apa Kakanda? Kenapa Kakanda terlihat tidak bahagia?"
"Tidak ada apa-apa." jawab Si Bujang sambil tersenyum."Hanya saja Kakanda teringat Ibu kakanda yang saat ini masih di kampung."
"Jika itu membuat Kakanda sedih. Kita bisa menjenguk beliau. Kita mungkin bisa mengajak beliau untuk tinggal disini."
"Bolehkah?"
"Tentu saja. Ayah bisa menyiapkan kapal untuk kita."
Keesokan harinya. Kapal telah menunggu Si Bujang dan istrinya. Kapal itu milik kerajaan dan semua awaknya adalah prajurit kerajaan. Sang Raja turut hadir melihat Puteri tunggalnya pergi dalam pelayaran pertamanya.
"Kalian harus hati-hati. Kalian akan melalui pulau berhantu. Orang-orang biasa menyebutnya hantu Kalakiwi. Sebaiknya jangan menepi disana. Hantu itu dikenal kejam." pesan Sang Raja.
"Baik Paduka Raja." ucap Si Bujang.
"Semoga Kalian selamat sampai tujuan." do'a Sang Raja.
Kapal mulai pergi menjauhi dermaga. Layar dikembangkan dan udara sedang mengarah ke barat. Perjalanan itu cukup nyaman. Namun dengan tak terduga datang  perompak dengan sampan mencoba mengambil alih kapal. Si Bujang dan pasukannya dengan sigap melawan para perompak. Para perompak berhasil ditangkap. Kapal dapat diselamatkan walau tempat persediaan air hancur karena ulah perompak.
"Kakanda, bukankah sebaiknya kita menepi untuk mencari air." mohon Istrinya dengan suara kering
"Baiklah Adinda. Kita akan menepi di Pulau terdekat."
Tidak lama kemudian sebuah pulau terlihat di cakrawala. Si Bujang segera memerintahkan awak kapalnya untuk merapat ke pulau tersebut.
Si Bujang dan berberapa pasukan mencari sumber air di Pulau itu. Istrinya menunggu di kapal bersama sisa awak kapal. Sang Puteri sambil termenung melihat air laut. Tiba-tiba sesosok makhluk aneh keluar dari lautan dan menarik Sang Puteri jatuh ke laut. Makhluk itu melompat keatas dan berubah bentuk menjadi sang Puteri. Awak kapal yang mendengar suara hempasan air terkejut dan segera mencari tahu apa yang terjadi.
"Tuan Puteri tidak apa-apa?" tanya seorang awak.
"Tidak apa. Tadi hanya suara ikan yang melompat." jawab sosok yang telah berwujud sang Puteri.
Si Bujang dan pasukannya akhirnya kembali dengan membawa pasokan air. Perjalanan kembali dilanjutkan tanpa ada satu orang pun yang tahu apa yang terjadi dengan Puteri yang asli. Puteri palsu awalnya ingin membunuh dan memakan semua orang dalam perjalanan. Namun mendengar bahwa mereka akan pergi ke sebuah perkampungan makhluk itu mengurungkan niatnya.
Kapal akhrinya berlabuh di kampung. Semua orang disana tidak percaya siapa yang turun dari kapal milik kerajaan itu. Si Bujang Miskin turun bersama dengan 'istri'nya dan segera menuju rumah Maknya.
"Bujang. Alhamdulillah nak kamu sudah pulang." ucap Maknya dengan bahagia melihat anaknya kembali dengan selamat.
"Alhamdulillah Mak. Ini karena do'a dan nasihat mak Bujang bisa berhasil ke kerajaan." ucap Si Bujang sambil mencium tangan maknya.
"Mak, ini istri Bujang. Dia Puteri kerajaan." ucap Si Bujang sambil melihat Istrinya.
"Kamu juga sudah menikah? Kenapa tidak minta restu mak dulu?"
"Maaf mak ini perintah Raja."
"Tidak apa mak merestui hubungan kalian."
Si Bujang sangat senang mendengar restu mak. Dia memerintahkan para pengawalnya untuk membeli berberapa ekor ayam dan bahan makanan untuk dimasak sebagai pengganti pesta perkawinan di istana kemarin.
Mak mengajak 'istri' Bujang untuk memasak daging ayam. Namun makhluk itu tergoda melihat daging ayam yang baru disembelih. Saat Mak tidak melihat, makhluk itu langsung memakan ayam itu mentah-mentah. Tanpa disangka Mak melihat itu dan segera memberitahu Si Bujang.
Si Bujang kaget mendengar perkataan Maknya. Dia segera berlari ke dapur dan melihat tulang-tulang ayam yang tersisa. Mulut makhluk itu berlumuran darah dan wajah aslinya terlihat. Si Bujang tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Makhluk itu mencoba menerkam Si Bujang. Si Bujang dengan sigap menghidar dan segera mencabut kerisnya. Makhluk itu ketakutan melihat keris itu dan segera melarikan diri.
Makhluk itu mencoba melarikan diri, namun dihadang oleh orang-orang kampung yang membawa obor. Makhluk itu tampak sangat takut dengan api. Melihat itu penduduk mencoba membakarnya.
"Bakar, bakar, bakar!" teriak warga kampung.
"Tunggu." teriak Si Bujang. "Siapa kau sebenarnya?" tanya pada makhluk itu.
"Mereka biasa menyebutku dengan hantu Kalakiwi."
"Dimana Istriku?"
"Istrimu? Mungkin mayatnya sudah terombam ambing di lautan sana." ucapnya sambil tertawa.
"Apa kau membunuhnya?"
"Tidak, kau yang membunuhnya. Kau yang merapatkan kapalmu ke pulau kami. Kau yang membawanya kepada kematian."

Si Bujang dengan amarah langsung menebas hantu Kalakiwi hingga tubuhnya menguap. Warga bersorak gembira dengan matinya hantu Kalikawa. Namun Si Bujang tidak gembira. Dia berlari menuju lautan dan berteriak sekeras mungkin pada lautan. Air matanya tidak terbendung lagi mengingat istrinya yang telah tiada. Dia merasa sangat bersalah dan putus asa. seseorang tiba-tiba mengelus pudaknya.
"Tidak apa Nak, ini sudah takdir. Kita tidak bisa berbuat banyak sekarang."
"Tapi Mak ini salahku. Raja telah mengingatkanku soal hantu Kalikawa itu tapi aku tetap pergi ke pulau terkutuk itu."
"Kita hanya bisa berdo'a Nak. Itu yang bisa kita lakukan sekarang."
Si Bujang mengikuti nasihat maknya. Dia berdo'a menghadap lautan agar arwah istrinya dapat diterima di surga dan jasad...
"Kakanda." terdengar suara lembut sangat dikenal Si Bujang.
"Puteri?" ucap Si Bujang seraya menoleh.
Dia kaget bukan kepalang melihat istrinya tepat dibelakangnya. Segera dipeluknya istri tercintanya dan Si Bujang bertanya "Apa yang terjadi Dinda?"
"Aku ditarik sesuatu sehingga jatuh ke lautan. Namun ada nelayan yang menyelamatkanku dan mengantarkan sampai kesini."
"Alhamdulillah Dinda kau selamat." ucap Si Bujang tak henti-hentinya bersyukur.
Hari itu Si Bujang menyadari semua yang dimilikinya hanyalah titipan. Kehormatan, harta, bahkan orang yang dicintainya pasti akan kembali kepada Yang Kuasa. Hal yang paling penting adalah bagaimana hidup itu harus berguna dan tidak mengecewakan amanat dari orang lain.

 Tamat

Note: Cerita ini ditulis ulang oleh penulis dengan penambahan. Cerita aslinya dapat dilihat disini.

Comments

Popular posts from this blog

Filosofi Catur

Hai. Catur adalah sebuah permainan papan yang sangat menarik. Hanya dengan 32 bidak dan buah papan yang berisi kotak hitam putih 8 X 8, kita bisa mengadu kecerdasan dan kecerdikan kita bersama teman yang kita tantang. Selain itu permainan catur tidak pernah membosankan karena tidak ada langkah yang sama yang selalu kita mainkan setiap saat. Kita harus mampu menebak pikiran lawan, menyerang dan bertahan di saat yang bersamaan. Target semua itu hanya satu, yaitu untuk membunuh raja pihak lawan. Suatu hari aku bermain catur dengan seorang teman. Lalu aku sadar beberapa hal yang menarik saat melangkahkan bidak-bidak catur. Lalu aku menemukan bidak catur itu seperti unsur kehidupan dalam diri manusia. Ini unsur-unsurnya. Raja melambangkan nyawa. Sama seperti nyawa manusia, bidak raja dalam permainan catur adalah unsur paling penting sekaligus yang paling lemah. Saat bidak raja mati, maka permainan berakhir. Begitu juga nyawa manusia, saat nyawa manusia pergi, maka kehidupannya

Mistletoe~The Tree of Reincarnation~ - Sebuah cerita baru dari TeamOS

Hai semua. Hari ini aku akan kembali mempromosikan sebuah lagu Vocaloid yang baru rilis akhir-akhir ini. Judulnya Mistletoe ~The Tree Of Reincarnation (selanjutnya akan disingkat Mistletoe). Sesuai judul diatas, lagu ini diproduksi oleh TeamOS (Hitoshizuku dkk), produser yang sama memproduksi Night Series. Jika pada Night Series kita disuguhkan cerita misterius dengan tema drama. Mistletoe hadir dengan cerita drama tragedi dengan tema fantasi kerajaan. Aku mendapat sinopsis Mistletoe World dari Vocaloid Lovers Indonesia . Ini sinopsis singkatnya. Tenang aja gak perlu takut spoiler .   SINOPSIS: 1000 Tahun yang lalu, Dunia diatur oleh para burung berkekuatan Dewa yang disebut Kamidori, yang tinggal di sebuah Surga diatas langit bernama Mistletoe. Mistletoe terhubung ke Bumi dengan sebuah menara raksasa. Kandori menerima harapan dan doa para manusia yang tinggal di Bumi dan mengandung. Permohonan yang pertama adalah "Kebahagiaan", maka lahirlah Burung Biru yang melambangkan