Mentari terlihat malu-malu menampakan sinarnya. Cahayanya mulai mengenai sebuah rumah sederhana di antara banyak rumah lain disekitarnya. Rumah itu tidak terlihat istimewa, namun halaman belakang yang luas penuh dengan berbagai tanaman seperti timun, lobak dan wortel tumbuh dengan rapi dan indah. Seorang gadis terlihat sibuk menyirami tanaman itu dengan penuh kasih sayang. Cahaya mentari mulai menyilaukan mata gadis itu, membuat wajah manisnya terlihat lebih cerah dan hangat.
"Imas, kenapa kamu tidak membangunkan ibu, nak?" terlihat seorang wanita tua keluar dari balik pintu
"Maaf Bu, Imas tak tega membangunkan Ibu. Ibu terlihat lelah." ucap gadis itu sambil meletakan penyiram.
"Sudah disiram semuanya?" tanya Ibunya.
"Sudah. Ini ada beberapa timun yang harus Imas Panen."
"Kamu mandi dulu sana. Biar Ibu yang petik timunnya."
"Baik bu." ucap Imas. Lalu dia menghilang dibalik bilik kamar mandi.
Wanita tua itu mulai memetik timun dari batangnya. Dia meletakan timun-timun itu dari keranjang sederhana yang dibuat dari anyaman bambu. Lalu kegiatannya terhenti melihat seorang anak muda dengan pakaian lusuh menyeret-nyeret kakinya dengan nafas terengah-engah. Dia terlihat berjalan di tepi pagar kebun yang terbuat dari batang ubi yang di tusuk menyilang. Wanita itu merasa sedikit janggal karena dia sama sekali tidak pernah melihat pemuda itu di kampung ini. Selain itu, wajah anak itu terlihat bersih. Sangat berlawanan dengan pakaiannya yang lusuh dan menghitam.
"Hai Nak, kau tak apa-apa." ucap wanita itu dengan nada khawatir.
Kancil mendengar suara wanita menyahut. Kepalanya menoleh ke kanan dan melihat seorang wanita di sebuah kebun yang penuh tanaman timun. Mata wanita itu terlihat iba menatap dirinya. Sebuah ide terlintas di kepalalnya.
"Ti...Tidak apa. Tapi boleh aku minta air. Aku haus." Kancil mengucap dengan hati-hati.
"Masuklah dulu Nak. Sepertinya kamu lelah. Istirahatlah dulu." ucap wanita itu seraya mengajak pemuda yang baru dilihatnya itu masuk ke rumahnya.
Kancil sedikit bingung. Bagaimana dia masuk dengan pagar seperti ini. Jika saja dia masih menjadi seekor Kancil kecil, menyelinap di sela-sela batang ini tidaklah sulit. Namun dengan tubuh seperti ini, dia sendiri tidak tahu caranya untuk melompat.
"Tak usah malu-malu ayo masuk." Wanita tua itu telah berdiri dan membuka pintu pagar. Kancil merasa takjub karena itu pertama kalinya dia melihat cara kerja sebuah pintu.
Pelan-pelan Kancil mengikuti Wanita tua itu masuk ke rumahnya. Kancil tidak banyak bicara, karena manusia di kenal cerdas dan licik. Dia tidak bisa berbicara dengan manusia seperti berbicara dengan binatang lainnya. Dia kembali takjub melihat pintu rumah sederhana itu terbuka.
"Manusia memang sangat pintar." pikirnya dalam hati
"Duduklah dulu nak." ucap Wanita tua itu. "Imas, ambil segelas air. Kita ada tamu." teriak Wanita itu dengan menoleh ke dapur.
"Baik Bu." terdengar sahutan dari arah dapur.
"Kamu bukan orang sini ya. Saya tak pernah melihat kamu di sini." tanya Wanita itu seakan nada yang akrab.
Kancil tidak berani langsung menjawab. Jika dia salah berkata, mungkin wanita ini takkan percaya. Namun karena tak ada cara lain. Kancil mulai membuka mulutnya. Namun suaranya terputus karena mendengar sebuah suara lembut.
"Silakan ini Airnya." ucap suara lembut itu.
Penasaran dengan suara lembut itu. Kancil mengangkat wajahnya. Entah sengaja atau tidak disengaja, mata mereka bertemu.
-Bersambung.
"Imas, kenapa kamu tidak membangunkan ibu, nak?" terlihat seorang wanita tua keluar dari balik pintu
"Maaf Bu, Imas tak tega membangunkan Ibu. Ibu terlihat lelah." ucap gadis itu sambil meletakan penyiram.
"Sudah disiram semuanya?" tanya Ibunya.
"Sudah. Ini ada beberapa timun yang harus Imas Panen."
"Kamu mandi dulu sana. Biar Ibu yang petik timunnya."
"Baik bu." ucap Imas. Lalu dia menghilang dibalik bilik kamar mandi.
Wanita tua itu mulai memetik timun dari batangnya. Dia meletakan timun-timun itu dari keranjang sederhana yang dibuat dari anyaman bambu. Lalu kegiatannya terhenti melihat seorang anak muda dengan pakaian lusuh menyeret-nyeret kakinya dengan nafas terengah-engah. Dia terlihat berjalan di tepi pagar kebun yang terbuat dari batang ubi yang di tusuk menyilang. Wanita itu merasa sedikit janggal karena dia sama sekali tidak pernah melihat pemuda itu di kampung ini. Selain itu, wajah anak itu terlihat bersih. Sangat berlawanan dengan pakaiannya yang lusuh dan menghitam.
"Hai Nak, kau tak apa-apa." ucap wanita itu dengan nada khawatir.
Kancil mendengar suara wanita menyahut. Kepalanya menoleh ke kanan dan melihat seorang wanita di sebuah kebun yang penuh tanaman timun. Mata wanita itu terlihat iba menatap dirinya. Sebuah ide terlintas di kepalalnya.
"Ti...Tidak apa. Tapi boleh aku minta air. Aku haus." Kancil mengucap dengan hati-hati.
"Masuklah dulu Nak. Sepertinya kamu lelah. Istirahatlah dulu." ucap wanita itu seraya mengajak pemuda yang baru dilihatnya itu masuk ke rumahnya.
Kancil sedikit bingung. Bagaimana dia masuk dengan pagar seperti ini. Jika saja dia masih menjadi seekor Kancil kecil, menyelinap di sela-sela batang ini tidaklah sulit. Namun dengan tubuh seperti ini, dia sendiri tidak tahu caranya untuk melompat.
"Tak usah malu-malu ayo masuk." Wanita tua itu telah berdiri dan membuka pintu pagar. Kancil merasa takjub karena itu pertama kalinya dia melihat cara kerja sebuah pintu.
Pelan-pelan Kancil mengikuti Wanita tua itu masuk ke rumahnya. Kancil tidak banyak bicara, karena manusia di kenal cerdas dan licik. Dia tidak bisa berbicara dengan manusia seperti berbicara dengan binatang lainnya. Dia kembali takjub melihat pintu rumah sederhana itu terbuka.
"Manusia memang sangat pintar." pikirnya dalam hati
"Duduklah dulu nak." ucap Wanita tua itu. "Imas, ambil segelas air. Kita ada tamu." teriak Wanita itu dengan menoleh ke dapur.
"Baik Bu." terdengar sahutan dari arah dapur.
"Kamu bukan orang sini ya. Saya tak pernah melihat kamu di sini." tanya Wanita itu seakan nada yang akrab.
Kancil tidak berani langsung menjawab. Jika dia salah berkata, mungkin wanita ini takkan percaya. Namun karena tak ada cara lain. Kancil mulai membuka mulutnya. Namun suaranya terputus karena mendengar sebuah suara lembut.
"Silakan ini Airnya." ucap suara lembut itu.
Penasaran dengan suara lembut itu. Kancil mengangkat wajahnya. Entah sengaja atau tidak disengaja, mata mereka bertemu.
-Bersambung.
Comments
Post a Comment